eksposbandung-Sebanyak 27 warga dari Desa Maba Sangaji, Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara, telah diamankan oleh pihak kepolisian karena melakukan unjuk rasa yang menuntut pertanggungjawaban dari PT Position yang menambang nikel di wilayah tanah adat. Polda Maluku Utara pun telah menetapkan 11 orang sebagai tersangka pada hari Senin (19/5/25).
Polisi menuduh masyarakat menghambat kegiatan penambangan perusahaan.“Tindakan yang dilakukan tersebut menunjukkan aksi premanisme yang meresahkan masyarakat dan investasi,” ucap Bambang Surhayono, Kabid Humas Polda Malut dalam siaran pers yang Mongabay terima.
Dia mengungkapkan bahwa selain membawa senjata tajam dalam aksi tersebut, warga juga mengambil 18 kunci alat berat dari perusahaan. Barang bukti yang mereka amankan antara lain 10 parang, satu tombak, lima ketapel, satu pelontar panah, 19 anak panah, spanduk, dan terpal.
Aksi protes yang berlangsung pada hari Jumat (16/5/25) ini dipicu oleh rasa kesal warga akibat tanah mereka digali tanpa izin.Warga pun terpaksa menghentikan kegiatan penambangan di hutan Maba Sangaji. Dalam insiden tersebut, polisi menangkap 27 warga, dengan 11 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Inisial para tersangka adalah HI, HL, JH, AS, JB, NS, YHS, SA, SM, UM, dan S.
Polisi mengenakan Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat No.12/1951 kepada mereka karena membawa senjata tajam tanpa izin, dengan ancaman hukuman 10 tahun. Selain itu, mereka juga dikenakan Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Minerba, terkait dengan penghalangan kegiatan usaha pertambangan yang memiliki izin, dengan ancaman pidana satu tahun. Juga, mereka dikenakan Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, atas dugaan tindak pidana pemerasan dan ancaman.
Anto Yunus, kuasa hukum masyarakat, mengungkapkan bahwa sejumlah warga diduga mengalami tindakan penganiayaan saat dilakukan pemeriksaan.
“Mereka (warga Maba Sangaji) bahkan mendapat penganiayaan. Ada kekerasan fisik. Sudah kita lihat dan foto,” ucapnya.
Menurutnya, penangkapan warga Maba Sangaji adalah upaya untuk membatasi hak berekspresi warga. Ia pun mempertanyakan dasar hukum yang mendasari penahanan tersebut. Aksi warga, katanya, semata-mata untuk menuntut ganti rugi atas lahan yang telah diterobos oleh perusahaan.
Mengenai tuduhan polisi terhadap warga yang membawa senjata tajam saat beraksi, hal ini disebabkan oleh fakta bahwa mereka adalah petani. Adalah kebiasaan bagi petani untuk membawa peralatan seperti parang dan lainnya ketika pergi ke lahan. Dengan demikian, dikatakan bahwa itu bukan untuk melakukan tindak kekerasan.
“Apakah ada pengancaman dan ada yang luka di perusahaan? Atau ada mobil yang terbakar di sana dan ada operasi industri yang ditutup di sana? Apakah ada kerugian? Tunjukkan kerugian keuangan perusahaan atas aksi warga. Kalau tidak ada kerugian, jangan berdalih?”tanya Anto.
Anto menegaskan, Polda Malut harus membebaskan 11 warga tersebut dengan menggunakan pendekatan restorative justice atau metode penyelesaian kasus pidana yang lebih mengutamakan pemulihan dan rekonsiliasi, bukan hukuman. Jika tidak, mereka akan mengajukan gugatan praperadilan.