eksposbandung-Dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit PT Sritex, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengidentifikasi tiga tersangka.
Tersangka pertama dalam kasus korupsi Sritex adalah Iwan Setiawan Lukminto, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT. Sritex pada periode 2018-2023.
Zainuddin Mappa, yang merupakan Direktur Utama Bank DKI pada tahun 2020, diidentifikasi sebagai tersangka kedua, sedangkan Dicky Syahbandinata adalah tersangka ketiga yang menjabat sebagai Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi di Bank BJB.
“Menetapkan tiga orang tersebut sebagai tersangka karena telah ditemukan bukti yang cukup terhadap aksi korupsi pemberian kredit kepada PT Sritex,” ucap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers, Rabu (21/5).
Iwan, Zainuddin Mappa, dan Dicky Syahbandinata telah ditahan oleh Kejaksaan Agung di Rutan Salemba, Jakarta, untuk periode 20 hari mendatang sesuai dengan surat perintah penahanan yang berbeda-beda.
“Terhadap tiga tersangka mulai malam ini dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan. Untuk tersangka ISL dilakukan penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor 32 Tanggal 21 Mei 2025, untuk tersangka DS berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor 33 Tanggal 21 Mei 2025. Dan untuk tersangka ZM Berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor 34 Tanggal 21 Mei Tahun 2025,” tutur Qohar.
Dalam penjelasannya, Qohar menyatakan bahwa Iwan, saat menjabat sebagai direktur utama Sritex, diduga telah menyalahgunakan fasilitas kredit senilai Rp692 miliar yang diterima dari Bank BJB dan Bank DKI Jakarta. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa Iwan diduga menggunakan fasilitas kredit tersebut untuk membayar utang PT. Sritex dan untuk akuisisi tanah.
“Terdapat fakta hukum bahwa dana itu tidak dipergunakan sebagaimana tujuan dari pemberian kredit yaitu untuk modal kerja,” tutur Qohar.
“Disalahgunakan untuk membayar hutang dan membeli aset non-produktif sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya,” tambahnya.
Qohar menyatakan bahwa kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp692 miliar, berdasarkan jumlah kredit dari Bank DKI dan Bank BJB yang seharusnya digunakan untuk modal kerja.
“Terkait kerugian keuangan negara ini sebesar Rp692 miliar. Ini terkait dengan pinjaman PT Sritex kepada dua bank. Tadi saya sampaikan Bank DKI Jakarta dan Bank BJB,” terangnya.
Qohar mengungkapkan bahwa kasus ini dimulai ketika Kejaksaan Agung menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan PT. Sritex pada tahun 2021. Ia menyatakan bahwa kejanggalan tersebut terdapat pada catatan kerugian Sritex yang mencapai Rp15,6 triliun. Ini sangat bertentangan dengan catatan keuntungan Sritex pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp1,2 triliun.
“Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan,” ujar dia.
Selanjutnya, menurutnya, penyidik memusatkan perhatian pada total nilai tagihan yang belum dibayar oleh Sritex hingga Oktober 2024, yang mencapai Rp3,58 triliun. Tagihan tersebut berasal dari beberapa bank daerah dan bank milik negara yang tergabung dalam Himbara.
Tagihan tersebut secara rinci berasal dari kredit Bank Jateng sebesar Rp395 miliar, Bank BJB sebesar Rp543 miliar, dan Bank DKI sebesar Rp149 miliar. Sementara itu, sisa sebesar Rp2,5 triliun berasal dari bank sindikasi yang meliputi Bank BNI, Bank BRI, dan LPEI.
“Selain kredit tersebut di atas PT Sri Rejeki Isman TBK juga mendapatkan pemberian kredit dari 20 bank swasta,” tuturnya.
Qohar menyatakan bahwa Zainuddin Mappa dan Dicky Syahbandinata diduga terlibat dalam tindakan hukum terkait pemberian kredit tersebut.
sebab, Keduanya tidak melakukan analisis yang cukup dan tidak mematuhi prosedur pemberian kredit. Salah satu alasannya adalah tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja berdasarkan hasil penilaian dari lembaga. Tercatat, Sritex hanya memiliki predikat BB- yang menunjukkan risiko gagal bayar yang lebih tinggi.
“Padahal seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitor yang memiliki peringkat A,” ujarnya.